KEKUATAN
PENUNJUKAN LAFAL TERHADAP MAKNA
Makalah ini disusun untuk memenuhi
Tugas Mata Kuliah Usul Fiqih
Dosen Pengampu :
Drs.KH.A.Hambali, M.Pd.I
Disusun Oleh :
Muhammad Ngasim
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM GROBOGAN (STAIG)
TAHUN 2012
ii
KATA PENGANTAR
السلام عليكم
Puji syukur kami haturkan kepada
Allah yang telah memberikan Rahmadnya, yang telah memberi kesempatan pada kami
untuk menulis makalah ini, Dan sholawat salam kami haturkan kepada Nabi
Muhammad yang telah memberikan inspirasi kepada kami untuk memahami KEKUATAN
PENUNJUKAN LAFAL TERHADAP MAKNA
Makalah ini saya susun untuk memenuhi
tugas mata kuliyah Usul Fiqih untuk menguraikan KEKUATAN PENUNJUKAN LAFAL
TERHADAP MAKNA, Demi terselesaikannya tugas makalah
ini kami minta saran, arahan kepada Bapak Dosen dan Teman-teman Mahasiwa, Untuk
itu rasa trimakasi kami haturkan kepada :
- Bpk Dosen Drs.KH.A.Hambali, M.Pd.I
2.
Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian makalah ini.
Tiada manusia yang sempurna, begitu
pula kami dalam menyusun makalah Ini ada kesalahan baik yang kami sadari atau
tidak , oleh karena itu kami minta saran
atas makalah ini demi kebaikan dalam menyusun makalah ini
Trimakasi dan semoga bermanfaat makalah ini.
والسلام عليكم
PENYUSUN
( Abdulloh Nafi`)
DAFTAR ISI
Halaman
judul ...................................................................................
i
Kata
pengantar
..................................................................................
ii
Daftar isi
...........................................................................................iii
Bab I
Pendahuluan ............................................................................
1
a.
Latar
blakang ..................................................................... 1
b.
Perumusan
masalah ............................................................1
Bab II Pembahasan ...............................................................
................2
1.
Macam-macam kekuatan penunjukan lafal terhadap makna......................2
2.
Lafal
yang tidak jelas pengertiannya..........................................................5
3.
Fungsi kekuatan penunjukan lafal terhadap makna ……………………………….11
Bab III Penutup
a.
Ringkasan
................................................................................13
b.
Daftar
pustaka .........................................................................
IV
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ushul fiqih, setiap istimbat(pengambilan hukum)dalam
syariat islam harus berpijak pada Alqur’an dan sunnah nabi.adalah menjadi
keharusan bagi seorang ahli hukum (fiqih) untuk mengetahui prosedur penggalian
hukum. Untuk kepentingan itu ilmu ushul fiqih telah menetapkan metodologinya.
Cara penggalian hukum dan nash ada dua macam
pendekatan,yaitu pendekatan makna dan pendekatan lafal. Pendekatan makna adalah
penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti menggunakan
qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya. Sedang pendekatan lafal
penerapannya membutuhkan beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan yaitu
penguasaan terhadapmakna dari lafal-lafal nash serta konotasinya dari segi umum
dan khusus dan mengetahui dalalahnya.
Dalam makalah ini penulis akan berusaha memaparkan
keterangan dari beberapa sumber mengenai bagaimana kekuatan penunjukkan lafal
terhadap makna serta bagaimana penetapan hukumnya.
Sementara cara penunjukan lafal terhadap makna,dalam
terminologi ulama ushul,biasanya dibatasi pada penunjukan secara jelas dan
tegas,secara isyarat,secara tidak langsung,dan secara kehendak syara’ yang
terkandung didalamnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja macam-macam kekuatan
penunjukan lafal terhadap makna ?
2. Bagaimana fungsi kekuatan tentang
penunjukan lafal terhadap makna ?
3. Apa contoh penerapan tentang
kekuatan peunjukan lafal terhadap makna dalam pengambilan hukum ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Macam-macam kekuatan penunjukan
lafal terhadap makna
Ø Lafal terbagi menjadi dua
1) Lafal yang jelas dalalahnya yang
tidak perlu penjelasan lagi dan dari itu sudah dapat ditetapkan taklif.
2) Lafal yang tidak mempunyai kejelasan
makna secara khusus.
Kedua macam lafal tersebut dapat ditemukan baik dalam
perundang-undangan hukum positif maupun dalam nash-nash Al-qur’an. Oleh karena
itu undang-undang hukum positif biasanya dilengkapi dengan lampiran penjelasan
(tafsir) yang menjabarkan tujuan-tujuan yang dipakai oleh undang-undang itu
meski dilengkapi dengan penjelasan,namun ada yang perlu ditafsirkan.
·
Lafal-lafal yang jelas dalalahnya :
Lafal-lafal
yang jelas dalalahnya ada 4 macam,yaitu :
A. Yang paling rendah dalam
tingkatannya(dalalahnya ialah zhahir)
B. Yang dipandang sedikit lebih tinggi
tingkatannya dibanding dzahir ialah nash
C. Yang lebih tinggi tingkatannya dari
pada nash ialah mufassar
D. Yaitu tingkatan yang paling tinggi
ialah muhkam
A. Zhahir
Didalam kitab-kitab ushul fiqih oleh sebagian jumhur ulama
madzhab maliky,syafi’i,dan hambaly tidak dapat ditemukan perbandinagan antara
nash dan zhahir.menurut mereka,zhahir sama pengertiannya dengan nash .mereka
menyatakan bahwa :
·
Nash adalah lafal yang tidak
menerima kemungkinan arti lain (ihtimal)didalam dalalahnya.
·
Zhahir ialah lafal yang masih
menerima kemungkinan arti lain (ihtimal)didalam dalalahnya.
Madzhab Hanafi mempunyai pandangan lain.zhahir menurut mereka
adalah kalimat yang menunjukkan kepada makna yang jelas ,akan tetapi kalimat
itu tidak
2
3
ditunjukkan
dalam konteks makna tersebut.maka dalalah lafal terhadap makna yang tidak
dimaksud itu dinamakan dalalah lafdiyah. Dalalah ini sebenarnya bukan merupakan
tujuan utama. Tetapi sekedar mengikuti kepada tujuan yang lain. Misalnya firman
ALLAH SWT, surat an-nisa’ :3
Artinya :
Dan
jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya) makna kawinilah wanita-wanita(lain)yang kamu
senangi, dua, tiga atau empat kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil
maka (kawinilah)seorang saja. (Q.S. An-nisa :3)
- Nash
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa nash menurut sebagian
ulama madzhab syafi’i dan maliki adalah lafal yang tidak mengandung ihtimal
yang timbul dari dalil.dan menurut madzhab hanafi ialah dalalah lafal yang
sesuai dengan konteks kalimatnya,seperti firman Allah berikut :
Artinya :
Laki-laki
mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan
bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah (Q.S.Al-maidah
:38)
Dari segi dalalahnya terhadap hukum,lafal nash lebih kuat
dibandingkan lafal zhahir.oleh karena itu apabila terjadi pertentangan antara
keduanya, maka nash harus didahulukan daripada zhahir.walau demikian,
sebagaimana lafal zhahir, nash masih mempunyai kemungkinan adanya tahsis dan
takwil , juga menerima nasakh. Meski lafal ini tetap dipakai sampai benar-benar
terdapat dalil yang menunjukan terjadinya nasakh itu dan tidak benar anggapan
orang yang mengatakan bahwa nasakh yang berlaku pada nash bisa terjadi di
setiap zaman.akan tetapi nasakh hanya bisa terjadi dimassa hidup nabi saja.
4
- Mufassar
Mufassar ialah lafal yang menunjukkan kepada maknanya sesuai
dengan yang dimaksud oleh konteks kalimat. Maka dari lafal itu menjadi jelas
karena ada keterangan dari dalil lain. Terkadang lafal itu pada asalnya
merupakan lafal yang mujmal lalu datang nash lain yang menafsirnya
(menjabarkannya) seperti perimtah tentang kewajiban membayar diyat dalam tindak
pidana pembunuhan tidak sengaja (khatha’).
Allah berfirman
Artinya :
Maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluargannya(si
pembunnh). (Q.S.Surat an-nisa’:92)
Dalam hal itu terdapat hadis nabi yang menjelaskan
ukuran-ukurannya, had-hadnya.macam-macamnya,sehingga nash yang kedua (hadis
nabi) menjadi mufassir(yang menjelaskan ) terhadap nash yang pertama .juga
seperti dalam ayat pencurian yang mengharuskan dikenakan hukuman had.tapi masih
menerima adanya takhsis.oleh karena itu ayat had pencurian itu ditakhsis
dengan pencurian yang mencapai satu nisab dan terhadap harta yang tersimpan
sebagai mana keterangan yang disandarkan nabi.bahwa nabi bersabda :
لاَقَطْعَ فِي كَثَرٍ وَلاَ ثَمَرٍ
Artinya
:
Tidak
dikenakan hukuman potong tangan pencurian terhadap mayang kurma tidak pula
mencuri buah-buahan.
Dan
keterangan lagi yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW bersabda :
لاَقَطْعَ فِي اَقَلِّ مِنْ عَشْرَةِ
دَرَاهِمِ
Artinya :
Tidak
dikenakan hukuman potong tangan pencurian yang kurang dari 10 dirham .
5
Dua hadist nabi itu dipandang sebagai nash-nash yang
menafsiri.dengan demikian apabila lafal ayat merupakan lafal yang mujmal atau
musytarak dan ditemukan sunnah nabi yang menafsirinya, maka dengan dilakukannya
penggabungan dua sumber hukum itu, lafal ayat yang tadinya mujmal atau
musytarak menjadi mufassar (di tafsiri ) sebagaimana telah dituturkan di muka
- Muhkam
Muhkam ialah lafal yang menunjukkan makna dimaksud,yang
memang didatangkan untuk makna itu.lafal ini jelas pengertiannya, tidak
menerima lagi adanya takwil dan takhsis.bahkan terkadang disertai dengan
ungkapan yang mengungkapkan bahwa lafal itu tidak menerima adanya
nasakh.seperti sabda Nabi saw :
ااَلْجِهَادُ مَاضٍ اَلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya : Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat
Dan
seperti firman Allah dalam kaitannya dengan orang yang melakukan delik qadzaf :
Artinya
:
Dan
janganlah kamu terima kasaksian mereka buat selama-lamanya .(Q.S.An-nur:4)
Sebab
disertakannya kata Abadan pada kalimat nahi itu menunjukkan bahwa ayat itu nash
merupakan nash yang muhkam yang tidak bisa menerima nasakh.bahkan madzhab
hanafi berpendapat bahwa nash yang terahir tersebut tidak menerima istisna’
(pengecualian) sehinga setiap orang yang terkena had qadzaf tidak bisa lagi
diterima kesaksiannya, meskipun ia telah bertaubat.
Lafal yang tidak jelas
pengertiannya.
Lafal yang tidak jelas maknanya (ghairul wadhih) yaitu
lafal yang maknanya tidak jelas secara mutlak, atau makna itu tidak jelas
pada pengertiannya.
Lafal yang tidak jelas maknanya kadang kala secara esensinya
memang tidak jelas dan hanya Allah saja yang mengetahuinya. Bagian ini tidak
masuk dalam ketegori taklif (yang dibebankan) seperti huruf-huruf yang terdapat
pada awal surat misalnya : shad, kaf, ha, ya, ain, shad, ain sin, qof dan
seterusnya. Huruf-huruf seperti itu tidak jelas maknanya bagi kita,secara
khusus hanya Allah semata yang mengetahui dan tidak pula ada nash yang
menjelaskannya.
6
Ketidakjelasan suatu lafal terkadang bukan karena lafalnya
sendiri,akan tetapi segi penerapan lafal itu pada sebagian madlulnya.bagian ini
terbagi menjadi empat,yaitu : Al-khafiyah, al-musykil, al-mujmal.
·
Al-khafi
Al-khafi adalah lafal yang maknanya samara (tidak jelas)
pada sebagian pengertian yang ditujuk (madlulnya) ,karena faktor penerapannya
terhadap madlulnya itu, bukan karena bentuk ucapan sighatnya.berkenaan dengan
ini fahrul islam al –badzawi mendefinisikan bahwa al-khafi adalah lafal yang
maknanya tidak jelas, dan apa yang dikehendakipun menjadi samar (kabur) karena
ada faktor di luar sighat yang tidak dapat ditemukan kecuali harus dicari.
Diantara contoh yang dikemukakan oleh ahli fiqih terhadap al
khafi adalah masuknya pencopet (al-tharar) dan pencuri kain kafan (an-nabasy)
ke dalam madlul lafal sariq (pencuri) pada firman Allah : was-sariq was-sariqah
(Al-maidah :28)
Sedangkan yang namanya shariq adalah orang yang mengambil
harta milik orang lain secara sembunyi – sembunyi , karena memang harta itu
dalam keadaan terjaga (tersimpan ) tidak tampak terlantar yang berpeluang
hilang sedangkan pencopet adalah orang yang mengambil harta orang lain secara
samar. Sedang pihak korban dalam keadaan sadar / terjaga.
Para ahli fiqh berbeda pendapat dalam menilai kedua bentuk
pencurian itu, thoror dan nabsy, karena masing – masing mempunyai sebutan yang
berbeda dengan sariq (pencuri) selama memang ada sebutan lain, maka kedua
bentuk pencurian itu pun tidak dimasukkan pada keumuman kata sariq. Dari segi
lain, karena pencopet adalah mengambil harta orang lain dalam keadaan tanpa
bersembunyi, meskipun pihak korban sendiri tidak menyadari dan tidak merasakan
hal itu. Jadi timbulnya sikap penyamaran atau sembunyi-sembunyi disini
adalah karena tiadanya kesadaran pihak korban bukan karena asal perbuatannya.
Diantara contohnya lagi adalah sabda nabi saw:
لاَيَرِثُ الْقَاتِلُ
Artinya: Orang yang membunuh itu tidak berhak mendapatkan
warisan.
7
Sesungguhnya kata qotil baik dari segi arti maupun
sasarannya adalah jelas, dan tiada sangsi lagi bahwa kata itu diterapkan untuk
pembunuhan yang sengaja akan tetapi apakah ia juga diterapkan untuk pembunuhan
karena suatu sebab atau pembunuhan secara bersekutu atau persengkongkolan atau
pembunuhan karena ada dorongan, atau pembunuhan dalam bentuk kerja sama.
·
Al-musykil
Adalah lafal yang maknanya samara tau kabur karena sesuatu
sebab yang ada pada lafal itu sendiri adapun perbedaan antara alkhofi dan al
muskil bahwa yang pertama kesamaaran makna bukan disebabkan oleh lafal itu
sendiri tapi oleh penerapan segi cakupan lafalnya sejak mula apa yang
dikehendaki oleh lafal al-khofi dapat diketahui sedangkan untuk al-musqil,
kekaburan ma’na itu timbul dari lafalnya sendiri dan apa yang dikehendaki oleh
lafal tidak dapat dipahamikecuali dengan memakai dalil-dalil dari luar. Contoh
al-musqil adalah lafal mustaroq yaitu lafal yang menunjukkan dua arti atau
lebih ssecara bergantian seperti kata ain kata ini menunjukkan beberapa makna
satu anggota badan yaitu mata ( alat melihat ) sumber air ( mata air ) esensi (
zat ) dan mata-mata intel. Ini semua merupakan yang berbeda-beda yang tidak
bias dicakup dalam satu arti saja setiap pemakaian kata tersebut hanya menunjuk
satu arti tertentu dari beberapa arti tersebut dan itulah yang dimaksut dengan
cara bergantian. contoh dalil dari segi kalimat adalah perkataan seseorang yang
menyatakan
بَثَّثّتُ الْعَيُوْنَ لاَِعْرِفَ
مَوْضِعَ جَيْشِ الْعَدُوِّ
Artinya
: telah saya sebarkan para intel guna mengetahui pangkalan tentara musuh.
Dalam
kalimat itu yang dikehendaki kata ain adalah mata-mata sebagai mana
diisyaratkan oleh kontek kalimat antara lain firman Allah :
لَهُمْ اَعْيُنٌ لاَيُبْصِرُوْنَ
بِهَا
Artinya
: mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat tanda-tanda
kekuasaan Allah.
Dari
konteks kalimat , menunjukkan bahwa yang dikehendaki kata ‘ayun (jamak ‘ain)
adalah mata.
8
·
Mujmal
Mujmal adalah bentuk ungkapan yang dalam maknanya tersimpan
banyak ketentuan dan berbagai keadaan yang tidak mungkin diketahui secara pasti
kecuali melalui pernyataan lain yang menjelaskan.Al badawy dalam kitab ushul
fiqh mengajukan definisi sbb :
Mujmal ialah ungkapan yang didalamnya terkandung banyak
makna, namun makna – makna yang dimaksud diantara makna – makna tersebut tidak
jelas, artinya apa yang dimaksud tidak bias diketahui begitu saja dari ungkapan
itu sendiri, tetapi harus ditafsiri, diteliti dan difikir secara mendalam.
Termasuk Al mujmal adalah lafal – lafal yang pengertian
bahasanya dipindah oleh syar’i untuk pengertian istilah syara’ secara khusus,
seperti lafal : sholat, zakat, shiyam, haji, riba dan lafal – lafal lain yang
oleh syara’ dikehendaki dengannya makna syara’ secara khusus, bukan makna yang
lughawi.
Banyak ungkapan alqur’an mengenai hukum – hukum taklifi yang
berbentuk mujmal yang kemudian oleh sunnah dijelaskan dan dirinci
ketentuan-ketentuannya, perintah sholat misalnya, berbentuk mujmal, lalu
datanglah perintah nabi dalam bentuk ucapan sekaligus tindakan. Nabi bersabda :
صَلُّوْ
كَمَا رَاَيْتُمُوْنِيْ اَصَلِّى
Artinya
:
Lakukanlah
sholat sebagaimana kalian lihat ketika aku sholat.
Demikian
pula ibadah haji, sunnahlah yang menjalankan seperti terdapat pada sabda Nabi :
خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ
Artinya :
Ambillah
dariku amalan-amalan haji kalian.
9
- Mutasyabih
Mutasyabih
adalah lafal yang samar maknanya, dan tidak mungkin dijangkau a’ sekalipun,
sementara baik didalam alqur’an ataupun al – hadist, tidak ada penafsiran yang
bersifat qat’i, atau yang bersifat dhanni terhadap lafal tersebut.
Menurut istilah ulama’ ushul fiqh, mutasyabih dapat
diartikan sebagai lafal yang sighotnya itu sendiri tidak menunjukkan pada arti
(maksudnya). Dan tidak terdapat qarinah. Qarinah luar yang menjelaskannya,
sedangkan syar’i sudah mencukupkan begitu saja berdasarkan ilmunya dan tidak
menjelaskannya.
Seperti firman Allah SWT :
Artinya :
Tangan Allah diatas tangan mereka.
Dan firmanNya lagi :
Artinya
: Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk kami.(Al-Huud:37)
Kedua ayat tersebut dapat ditakwilkan menjadi :
1. Kekuasaan Allah itu diatas kekuasaan
mereka.
2. Buatlah kapal dengan penjagaan dan
pengawasan kami.
· Takwil
Telah kami terangkan ketika membahas tentang dzahir dan nash
bahwa keduanya menerima takwil.lalu apa itu hakikat takwil dan apa pula
syarat-syaratnya?
Sementara penulis fiqih memahami bahwa takwil dalam hal
makna berkaitan dengan taklil ( pengillatan hukum).padahal ini bukanlah yang
dimaksud dengan takwil, sebab takwil hukum bermaksud untuk menerapkan nash (
pada peristiwa-peristiwa hukum) yang sesuai dengan tempat nash yang
dimaksud.penerapan takwil hanya sah apabila memenuhi tiga syarat :
1. Lafal tersebut memang menyimpan
makna takwil walaupun itu sangat jauh,makna itu tidak asing sama sekali dari
lafalnya.
2. Harus ada faktor yang memaksa
diterapkannya takwil.misalnya : dzahirnya nash ternyata menyalahi kaidah-kaidah
dasar agama yang sudah diketahui secara pasti atau ketika lafal itu menyalahi
nash (hadist).yang lebih kuat syaratnya.sementara ia sendiri bisa menerima
takwil.maka daripada dibuang lebih baik ditakwil.
10
3. Takwil itu tidak boleh tanpa sanad
(sandaran),sebaliknya ,ia harus berdasarkan pada sanad yang bisa dipegang
.sebagai faktor penyebab diterapkannya takwil. Takwil ada 2 macam :
a. Takwil terhadap hadist dan ayat-ayat
Al-qur’an yang bisa menimbulkan pengertian tasbih ( penyerupaan Tuhan dengan
makhluk). Umpamanya mentakwil kata tangan dengan kekuasaan didalam firman Allah
:
Artinya :
Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka (Q.S.Al-fath :10)
Walaupun kita harus mengakui bahwa ini tidak bisa dibilang
sebagai takwil yang utuh lantaran cara yang ditempuh melalui majas
masyhur.padahal majas masyhur dipahami dari zhahirnya nash bukan
takwilnya.orang arab bila mendengar orang berkata : “ Raja meletakkan tangannya
diatas kota “akan memahaminya sebagai “Raja menggelar kekuasaannya diatas kota
“.dengan demikian kata tangan dalam firman Allah tangan Allah diatas
tangan-tangan mereka harus dipahami sebagai kekuasaan melalui zhahir nash.
b. Takwil terhadap nash yang khusus
berkenaan dengan hukum taklif.faktor adanya takwil ini ialah menyesuaikan
antara ketentuan-ketentuan hukum dalam ayat-ayat Alquran dan hadist yang pada
zhahirnya bertentangan.jadi takwil itu dimaksudkan untuk memberlakukan sebuah
nash yang saling bertolak belakang. Sebab sudah disepakati oleh ulama’ bahwa
dalam hal penafsiran nash memberlakukan suatu lafal lebih utama dari pada
membuangnya secara percuma. Diantara bentuk dari takwil macam ini adalah
takhsis (pengkhususan )terhadap lafal yang umum.
Contoh firman Allah :
Artinya :
Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Q.S.Albaqarah :275).
Serta firman Allah dalam Q.S.An.nisa ayat 29 yang artinya :
Wahai
orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan harta kalian dengan batal
diantara kalian kecuali melalui perdagangan yang didasarkan atas saling rela
dari kalian (Q.S.an.nisa :29).
11
Ø Pembagian lafal ditinjau dari segi
cakupannya.
Lafal ditinjau dari segi cakupannya ada dua :
a)
Umum (Al- am )
b) Khusus (Al-khos )
1) Definisi Al-am
Lafadz
al-‘am ialah yang menunjukan tercakup dan termasuknya semua satuan-satuan yang
ada dalam lafal itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan
tersebut.Para ulama’ berbeda pendapat apakah pengertian yang ditunjukkan oleh
lafal ‘am itu bersifat qath’i atau zhanny.golongan hanafiyah berpendapat bahwa
penunjukkan lafal yang ‘am terhadap satuan yang termasuk dalam pengertiannya
itu tergolong qhat’i.mereka menyebutkan contoh firman Allah :
Artinya
:
Orang-orang
yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri ( hendaklah
para istri itu) menangguhkan dirinya (ber iddah) 4 bulan 10 hari
(Q.S.Al-baqarah ayat 234)
Ayat tersebut meliputi seluruh perempuan yang ditinggal mati
suaminya, hendaklah beridddah dalam waktu yang telah ditentukan. Kecuali bila
ada yang mengkhuskan, baik perempuan itu belum dicampuri oleh suaminya atau
sudah dicampuri.
Sedangkan pengertian qath’i yang ditetapkan dari lafal yang
am menurut ulama’ hanafiah ialah bila dalam lafal tersebut tidak terdapat
kemungkinan – kemngkinan lain yang timbul karena adanya dalil lain. Artinya
bukan hilangnya kemungkinan adanya takhsis secara mutlak, baik ditakhsisnya itu
ada dalilnya atau tidak. Menurut golongan Maliki, Syafi’i, dan golongan
Hambali, bahwa lafal am itu tidak dapat menunjukkan semua cakupannya secara
qath’i. Tetapi sebaliknya, ia hanya menunjukkan secara dhanni.
2) Al Khos
12
Lafal khas adalah lafal yang menunjukkan perseorangan, tertentu,
seperti “ Mustofa “, satuan jenis seperti “ laki- laki”, atau beberapa satuan
yang terbatas, seperti “ seratus, seribu” dan lafal – lafal lain yang
menunjukkan beberapa bilangan , beberapa satuan, tetapi tidak mencakup satuan –
satuan tersebut.
Menurut madhab Hanafi, apabila khas bertentangan dengan am,
maka khas bisa mentakhsis am jika keduanya datang bersamaan, sesuai dengan
syarat takhsis yang mereka tetapkan. Dalam hal keduanya tidak bersamaan bila am
datang belakangan berarti menashakh yang khas, dan bila yang khas belakangan
berarti menasakkh sebagian satuan am.Hal demikian didasarkan atas prinsip
mereka bahwa untuk mentakhsis dalil am dan khas harus bersamaan waktunya,
keduanya mempunyai status yang qath’i dan masing – masing jelas , tidak membutuhkan
penjelasan dari yang lain.
Contoh berikut akan menunjukkan bagaimana kedua metode
tersebut diterapkan. Ada 2 hadist yang menerangkan tentang zakat tanaman, yaitu
pertama sabda Nabi :
مَاسَقَتْهُ السَّمَاءُ فَفِيْهِ
الْعُشُرُ
Artinya
: Tanaman yang disiram dengan air hujan maka zakatnya 1/10
Dan
kedua sabda Nabi :
لَيْسَ دٌوْنَ خَمْسَةِ اَوْسُقٍ
صَدَقَةٌ
Artinya
: Hasil tanaman yang kurang dari 5 wasaq (1 wasaq = 10 kg ) tidak ada zakat.
B.
Fungsi kekuatan penunjukan lafal terhadap makna
a.
Bisa digunakan untuk mentakwilkan
suatu lafal yang belum jelas maknanya.
b.
Bisa digunakan untuk mentakhsiskan
suatu lafal yang masih bersifat umum.
c.
Bisa digunakan untuk mengambil makna
yang hakiki dari makna yang bersifat majas.
d.
Dapat menghilangkan kemusykilan lafal yang musytarak (sulit ditentukan artinya)
dengan mencari qorinah (dalil) yang sesuai.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Macam-macam
kekuatan penunjukan lafal terhadap makna
Lafal
terbagi menjadi dua :
1. Lafal yang jelas dalalahnya yang
tidak perlu penjelasan lagi dan dari itu sudah dapat ditetapkan taklif.
2. Lafal yang tidak mempunyai kejelasan
makna secara khusus.
·
Lafal-lafal yang jelas dalalahnya :
Lafal-lafal
yang jelas dalalahnya ada 4 macam,yaitu :
A. Yang paling rendah dalam
tingkatannya(dalalahnya ialah zhahir)
B. Yang dipandang sedikit lebih tinggi
tingkatannya dibanding dzahir ialah nash
C. Yang lebih tinggi tingkatannya dari
pada nash ialah mufassar
D. Yaitu tingkatan yang paling tinggi
ialah muhkam
·
Lafal yang tidak jelas
pengertiannya: Al-khafi, Al-musykil, Mujmal, Mutasyabih, Takwil.
·
Lafal ditinjau dari segi cakupannya
: Lafal khusus (al-‘am), Lafal umum (al-khos)
v Fungsi kekuatan penunjukan lafal
terhadap makna
·
Bisa digunakan untuk mentakwilkan
suatu lafal yang belum jelas maknanya.
·
Bisa digunakan untuk mentakhsiskan
suatu lafal yang masih bersifat umum.
·
Bisa digunakan untuk mengambil makna
yang hakiki dari makna yang bersifat majas.
13
DAFTAR PUSTAKA
Zahroh,
abu ,1999. ushul fiqih, jakarta : Pustaka Firdaus
Yahya,
Mukhtal prof Dr,1986. Dasar- dasar pembinaan hukum fiqih islami. Bandung
: Al-maarif.
Khallaf,Abd
al-wahab, 1989, kaidah-kaidah hukum islam, jakarta : PT. Raja grafindo
persada
http://www.fikihonline.co.cc/2010/03/alur-penunjukan-hukum.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar