Sabtu, 19 Januari 2013

usul fiqih

KEKUATAN PENUNJUKAN LAFAL TERHADAP MAKNA
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Usul Fiqih
Dosen Pengampu :
Drs.KH.A.Hambali, M.Pd.I

Logo STAIG








Disusun Oleh :
                                                                Muhammad Ngasim


                            SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM GROBOGAN (STAIG)
TAHUN 2012

ii
                    KATA PENGANTAR                                                                                    
          السلام عليكم
            Puji syukur kami haturkan kepada Allah yang telah memberikan Rahmadnya, yang telah memberi kesempatan pada kami untuk menulis makalah ini, Dan sholawat salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad yang telah memberikan inspirasi kepada kami untuk memahami KEKUATAN PENUNJUKAN LAFAL TERHADAP MAKNA
            Makalah ini saya susun untuk memenuhi tugas mata kuliyah Usul Fiqih untuk menguraikan KEKUATAN PENUNJUKAN LAFAL TERHADAP MAKNA, Demi terselesaikannya tugas makalah ini kami minta saran, arahan kepada Bapak Dosen dan Teman-teman Mahasiwa, Untuk itu rasa trimakasi kami haturkan kepada :
  1. Bpk Dosen Drs.KH.A.Hambali, M.Pd.I
2.     Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian makalah ini.
Tiada manusia yang sempurna, begitu pula kami dalam menyusun makalah Ini ada kesalahan baik yang kami sadari atau tidak , oleh karena itu kami minta saran  atas makalah ini demi kebaikan dalam menyusun makalah ini
Trimakasi dan semoga bermanfaat makalah ini.
والسلام عليكم       

                                                                                                  PENYUSUN

                                                                                  (  Abdulloh Nafi`)



DAFTAR ISI

Halaman judul ................................................................................... i
Kata pengantar .................................................................................. ii
Daftar isi ...........................................................................................iii
Bab I Pendahuluan ............................................................................ 1
a.     Latar blakang ..................................................................... 1
b.     Perumusan masalah ............................................................1
Bab II Pembahasan ............................................................... ................2
1.      Macam-macam kekuatan penunjukan lafal terhadap makna......................2
2.      Lafal yang tidak jelas pengertiannya..........................................................5
3.      Fungsi kekuatan penunjukan lafal terhadap makna ……………………………….11
Bab III Penutup
a.     Ringkasan ................................................................................13
b.     Daftar pustaka ......................................................................... IV










BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Dalam ushul fiqih, setiap istimbat(pengambilan hukum)dalam syariat islam harus berpijak pada Alqur’an dan sunnah nabi.adalah menjadi keharusan bagi seorang ahli hukum (fiqih) untuk mengetahui prosedur penggalian hukum. Untuk kepentingan itu ilmu ushul fiqih telah menetapkan metodologinya.
Cara penggalian hukum dan nash ada dua macam pendekatan,yaitu pendekatan makna dan pendekatan lafal. Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti menggunakan qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya. Sedang pendekatan lafal penerapannya membutuhkan beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan yaitu penguasaan terhadapmakna dari lafal-lafal nash serta konotasinya dari segi umum dan khusus dan mengetahui dalalahnya.
Dalam makalah ini penulis akan berusaha memaparkan keterangan dari beberapa sumber mengenai bagaimana kekuatan penunjukkan lafal terhadap makna serta bagaimana penetapan hukumnya.
Sementara cara penunjukan lafal terhadap makna,dalam terminologi ulama ushul,biasanya dibatasi pada penunjukan secara jelas dan tegas,secara isyarat,secara tidak langsung,dan secara kehendak syara’ yang terkandung didalamnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja macam-macam kekuatan penunjukan lafal terhadap makna ?
2.      Bagaimana fungsi kekuatan tentang penunjukan lafal terhadap makna ?
3.      Apa contoh penerapan tentang kekuatan peunjukan lafal terhadap makna dalam pengambilan hukum ?





1
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Macam-macam kekuatan penunjukan lafal terhadap makna
Ø  Lafal terbagi menjadi dua
1)      Lafal yang jelas dalalahnya yang tidak perlu penjelasan lagi dan dari itu sudah dapat ditetapkan taklif.
2)      Lafal yang tidak mempunyai kejelasan makna secara khusus.
Kedua macam lafal tersebut dapat ditemukan baik dalam perundang-undangan hukum positif maupun dalam nash-nash Al-qur’an. Oleh karena itu undang-undang hukum positif biasanya dilengkapi dengan lampiran penjelasan (tafsir) yang menjabarkan tujuan-tujuan yang dipakai oleh undang-undang itu meski dilengkapi dengan penjelasan,namun ada yang perlu ditafsirkan.
·         Lafal-lafal yang jelas dalalahnya :
Lafal-lafal yang jelas dalalahnya ada 4 macam,yaitu :
A.    Yang paling rendah dalam tingkatannya(dalalahnya ialah zhahir)
B.     Yang dipandang sedikit lebih tinggi tingkatannya dibanding dzahir ialah nash
C.     Yang lebih tinggi tingkatannya dari pada nash ialah mufassar
D.    Yaitu tingkatan yang paling tinggi ialah muhkam

A.    Zhahir
Didalam kitab-kitab ushul fiqih oleh sebagian jumhur ulama madzhab maliky,syafi’i,dan hambaly tidak dapat ditemukan perbandinagan antara nash dan zhahir.menurut mereka,zhahir sama pengertiannya dengan nash .mereka menyatakan bahwa :
·         Nash adalah lafal yang tidak menerima kemungkinan arti lain (ihtimal)didalam dalalahnya.
·         Zhahir ialah lafal yang masih menerima kemungkinan arti lain (ihtimal)didalam dalalahnya.
Madzhab Hanafi mempunyai pandangan lain.zhahir menurut mereka adalah kalimat yang menunjukkan kepada makna yang jelas ,akan tetapi kalimat itu tidak


2
3
ditunjukkan dalam konteks makna tersebut.maka dalalah lafal terhadap makna yang tidak dimaksud itu dinamakan dalalah lafdiyah. Dalalah ini sebenarnya bukan merupakan tujuan utama. Tetapi sekedar mengikuti kepada tujuan yang lain. Misalnya firman ALLAH SWT, surat an-nisa’ :3

Artinya :
Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya) makna kawinilah wanita-wanita(lain)yang kamu senangi, dua, tiga atau empat kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka (kawinilah)seorang saja. (Q.S. An-nisa :3)

  1. Nash
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa nash menurut sebagian ulama madzhab syafi’i dan maliki adalah lafal yang tidak mengandung ihtimal yang timbul dari dalil.dan menurut madzhab hanafi ialah dalalah lafal yang sesuai dengan konteks kalimatnya,seperti firman Allah berikut :

Artinya :
Laki-laki mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah (Q.S.Al-maidah :38)

Dari segi dalalahnya terhadap hukum,lafal nash lebih kuat dibandingkan lafal zhahir.oleh karena itu apabila terjadi pertentangan antara keduanya, maka nash harus didahulukan daripada zhahir.walau demikian, sebagaimana lafal zhahir, nash masih mempunyai kemungkinan adanya tahsis dan takwil , juga menerima nasakh. Meski lafal ini tetap dipakai sampai benar-benar terdapat dalil yang menunjukan terjadinya nasakh itu dan tidak benar anggapan orang yang mengatakan bahwa nasakh yang berlaku pada nash bisa terjadi di setiap zaman.akan tetapi nasakh hanya bisa terjadi dimassa hidup nabi saja.

4
  1. Mufassar
Mufassar ialah lafal yang menunjukkan kepada maknanya sesuai dengan yang dimaksud oleh konteks kalimat. Maka dari lafal itu menjadi jelas karena ada keterangan dari dalil lain. Terkadang lafal itu pada asalnya merupakan lafal yang mujmal lalu datang nash lain yang menafsirnya (menjabarkannya) seperti perimtah tentang kewajiban membayar diyat dalam tindak pidana pembunuhan tidak sengaja (khatha’).
Allah berfirman
Artinya :
Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluargannya(si pembunnh). (Q.S.Surat an-nisa’:92)
Dalam hal itu terdapat hadis nabi yang menjelaskan ukuran-ukurannya, had-hadnya.macam-macamnya,sehingga nash yang kedua (hadis nabi) menjadi mufassir(yang menjelaskan ) terhadap nash yang pertama .juga seperti dalam ayat pencurian yang mengharuskan dikenakan hukuman had.tapi masih menerima adanya takhsis.oleh karena itu  ayat had pencurian itu ditakhsis dengan pencurian yang mencapai satu nisab dan terhadap harta yang tersimpan sebagai mana keterangan yang disandarkan nabi.bahwa nabi bersabda :
لاَقَطْعَ فِي كَثَرٍ وَلاَ ثَمَرٍ
Artinya :
Tidak dikenakan hukuman potong tangan pencurian terhadap mayang kurma tidak pula mencuri buah-buahan.


Dan keterangan lagi yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW bersabda :
لاَقَطْعَ فِي اَقَلِّ مِنْ عَشْرَةِ دَرَاهِمِ

Artinya :
Tidak dikenakan hukuman potong tangan pencurian yang kurang dari 10 dirham .


5
Dua hadist nabi itu dipandang sebagai nash-nash yang menafsiri.dengan demikian apabila lafal ayat merupakan lafal yang mujmal atau musytarak dan ditemukan sunnah nabi yang menafsirinya, maka dengan dilakukannya penggabungan dua sumber hukum itu, lafal ayat yang tadinya mujmal atau musytarak menjadi mufassar (di tafsiri ) sebagaimana telah dituturkan di muka
  1. Muhkam
Muhkam ialah lafal yang menunjukkan makna dimaksud,yang memang didatangkan untuk makna itu.lafal ini jelas pengertiannya, tidak menerima lagi adanya takwil dan takhsis.bahkan terkadang disertai dengan ungkapan yang mengungkapkan bahwa lafal itu tidak menerima adanya nasakh.seperti sabda Nabi saw :
ااَلْجِهَادُ مَاضٍ اَلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya : Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat

Dan seperti firman Allah dalam kaitannya dengan orang yang melakukan delik qadzaf :

Artinya :
Dan janganlah kamu terima kasaksian mereka buat selama-lamanya .(Q.S.An-nur:4)
Sebab disertakannya kata Abadan pada kalimat nahi itu menunjukkan bahwa ayat itu nash merupakan nash yang muhkam yang tidak bisa menerima nasakh.bahkan madzhab hanafi berpendapat bahwa nash yang terahir tersebut tidak menerima istisna’ (pengecualian) sehinga setiap orang yang terkena had qadzaf tidak bisa lagi diterima kesaksiannya, meskipun ia telah bertaubat.
 Lafal yang tidak jelas pengertiannya.
Lafal yang tidak jelas maknanya (ghairul wadhih) yaitu lafal  yang maknanya tidak jelas secara mutlak, atau makna itu tidak jelas pada pengertiannya.
Lafal yang tidak jelas maknanya kadang kala secara esensinya memang tidak jelas dan hanya Allah saja yang mengetahuinya. Bagian ini tidak masuk dalam ketegori taklif (yang dibebankan) seperti huruf-huruf yang terdapat pada awal surat misalnya : shad, kaf, ha, ya, ain, shad, ain sin,  qof dan seterusnya. Huruf-huruf seperti itu tidak jelas maknanya bagi kita,secara khusus  hanya Allah semata yang mengetahui dan tidak pula ada nash yang menjelaskannya.
6
Ketidakjelasan suatu lafal terkadang bukan karena lafalnya sendiri,akan tetapi segi penerapan lafal itu pada sebagian madlulnya.bagian ini terbagi menjadi empat,yaitu : Al-khafiyah, al-musykil, al-mujmal.
·      Al-khafi
Al-khafi adalah lafal yang maknanya samara (tidak jelas) pada sebagian pengertian yang ditujuk (madlulnya) ,karena faktor penerapannya terhadap madlulnya itu, bukan karena bentuk ucapan sighatnya.berkenaan dengan ini fahrul islam al –badzawi mendefinisikan bahwa al-khafi adalah lafal yang maknanya tidak jelas, dan apa yang dikehendakipun menjadi samar (kabur) karena ada faktor di luar sighat yang tidak dapat ditemukan kecuali harus dicari.
Diantara contoh yang dikemukakan oleh ahli fiqih terhadap al khafi adalah masuknya pencopet (al-tharar) dan pencuri kain kafan (an-nabasy) ke dalam madlul lafal sariq (pencuri) pada firman Allah : was-sariq was-sariqah (Al-maidah :28)
Sedangkan yang namanya shariq adalah orang yang mengambil harta milik orang lain secara sembunyi – sembunyi , karena memang harta itu dalam keadaan terjaga (tersimpan ) tidak tampak terlantar yang berpeluang hilang sedangkan pencopet adalah orang yang mengambil harta orang lain secara samar. Sedang pihak korban dalam keadaan sadar / terjaga.
Para ahli fiqh berbeda pendapat dalam menilai kedua bentuk pencurian itu, thoror dan nabsy, karena masing – masing mempunyai sebutan yang berbeda dengan sariq (pencuri) selama memang ada sebutan lain, maka kedua bentuk pencurian itu pun tidak dimasukkan pada keumuman kata sariq. Dari segi lain, karena pencopet adalah mengambil harta orang lain dalam keadaan tanpa bersembunyi, meskipun pihak korban sendiri tidak menyadari dan tidak merasakan hal itu. Jadi timbulnya sikap penyamaran  atau sembunyi-sembunyi disini adalah karena tiadanya kesadaran pihak korban bukan karena asal perbuatannya.
Diantara contohnya lagi adalah sabda nabi saw:
لاَيَرِثُ الْقَاتِلُ
Artinya: Orang yang membunuh itu tidak berhak mendapatkan warisan.

7
Sesungguhnya kata qotil baik dari segi arti maupun sasarannya adalah jelas, dan tiada sangsi lagi bahwa kata itu diterapkan untuk pembunuhan yang sengaja akan tetapi apakah ia juga diterapkan untuk pembunuhan karena suatu sebab atau pembunuhan secara bersekutu atau persengkongkolan atau pembunuhan karena ada dorongan, atau pembunuhan dalam bentuk kerja sama.
·         Al-musykil
Adalah lafal yang maknanya samara tau kabur karena sesuatu sebab yang ada pada lafal itu sendiri adapun perbedaan antara alkhofi dan al muskil bahwa yang pertama kesamaaran makna bukan disebabkan oleh lafal itu sendiri tapi oleh penerapan segi cakupan lafalnya sejak mula apa yang dikehendaki oleh lafal al-khofi dapat diketahui sedangkan untuk al-musqil, kekaburan ma’na itu timbul dari lafalnya sendiri dan apa yang dikehendaki oleh lafal tidak dapat dipahamikecuali dengan memakai dalil-dalil dari luar. Contoh al-musqil adalah lafal mustaroq yaitu lafal yang menunjukkan dua arti atau lebih ssecara bergantian seperti kata ain kata ini menunjukkan beberapa makna satu anggota badan yaitu mata ( alat melihat ) sumber air ( mata air ) esensi ( zat ) dan mata-mata intel. Ini semua merupakan yang berbeda-beda yang tidak bias dicakup dalam satu arti saja setiap pemakaian kata tersebut hanya menunjuk satu arti tertentu dari beberapa arti tersebut dan itulah yang dimaksut dengan cara bergantian. contoh dalil dari segi kalimat adalah perkataan seseorang yang menyatakan
بَثَّثّتُ الْعَيُوْنَ لاَِعْرِفَ مَوْضِعَ جَيْشِ الْعَدُوِّ
Artinya : telah saya sebarkan para intel guna mengetahui pangkalan tentara musuh.
Dalam kalimat itu yang dikehendaki kata ain adalah mata-mata sebagai mana diisyaratkan oleh kontek kalimat antara lain firman Allah :
لَهُمْ اَعْيُنٌ لاَيُبْصِرُوْنَ بِهَا
Artinya : mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah.
Dari konteks kalimat , menunjukkan bahwa yang dikehendaki kata ‘ayun (jamak ‘ain) adalah mata.



8
·         Mujmal
Mujmal adalah bentuk ungkapan yang dalam maknanya tersimpan banyak ketentuan dan berbagai keadaan yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui pernyataan lain yang menjelaskan.Al badawy dalam kitab ushul fiqh mengajukan definisi sbb :
Mujmal ialah ungkapan yang didalamnya terkandung banyak makna, namun makna – makna yang dimaksud diantara makna – makna tersebut tidak jelas, artinya apa yang dimaksud tidak bias diketahui begitu saja dari ungkapan itu sendiri, tetapi harus ditafsiri, diteliti dan difikir secara mendalam.
Termasuk Al mujmal adalah lafal – lafal yang pengertian bahasanya dipindah oleh syar’i untuk pengertian istilah syara’ secara khusus, seperti lafal : sholat, zakat, shiyam, haji, riba dan lafal – lafal lain yang oleh syara’ dikehendaki dengannya makna syara’ secara khusus, bukan makna yang lughawi.
Banyak ungkapan alqur’an mengenai hukum – hukum taklifi yang berbentuk mujmal yang kemudian oleh sunnah dijelaskan dan dirinci ketentuan-ketentuannya, perintah sholat misalnya, berbentuk mujmal, lalu datanglah perintah nabi dalam bentuk ucapan sekaligus tindakan. Nabi bersabda :

صَلُّوْ كَمَا رَاَيْتُمُوْنِيْ اَصَلِّى
Artinya :
Lakukanlah sholat sebagaimana kalian lihat ketika aku sholat.
Demikian pula ibadah haji, sunnahlah yang menjalankan seperti terdapat pada sabda Nabi :
خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ

Artinya :
Ambillah dariku amalan-amalan haji kalian.




9
  • Mutasyabih
Mutasyabih adalah lafal yang samar maknanya, dan tidak mungkin dijangkau a’ sekalipun, sementara baik didalam alqur’an ataupun al – hadist, tidak ada penafsiran yang bersifat qat’i, atau yang bersifat dhanni terhadap lafal tersebut.
Menurut istilah ulama’ ushul fiqh, mutasyabih dapat diartikan sebagai lafal yang sighotnya itu sendiri tidak menunjukkan pada arti (maksudnya). Dan tidak terdapat qarinah. Qarinah luar yang menjelaskannya, sedangkan syar’i sudah mencukupkan begitu saja berdasarkan ilmunya dan tidak menjelaskannya.
Seperti firman Allah SWT :

Artinya :
Tangan Allah diatas tangan mereka.
Dan firmanNya lagi :
Artinya : Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk kami.(Al-Huud:37)
Kedua ayat tersebut dapat ditakwilkan menjadi :
1.    Kekuasaan Allah itu diatas kekuasaan mereka.
2.    Buatlah kapal dengan penjagaan dan pengawasan kami.
·      Takwil
Telah kami terangkan ketika membahas tentang dzahir dan nash bahwa keduanya menerima takwil.lalu apa itu hakikat takwil dan apa pula syarat-syaratnya?
Sementara penulis fiqih memahami bahwa takwil dalam hal makna berkaitan dengan taklil ( pengillatan hukum).padahal ini bukanlah yang dimaksud dengan takwil, sebab takwil hukum bermaksud untuk menerapkan nash ( pada peristiwa-peristiwa hukum) yang sesuai dengan tempat nash yang dimaksud.penerapan takwil hanya sah apabila memenuhi tiga syarat :
1.    Lafal tersebut memang menyimpan makna takwil walaupun itu sangat jauh,makna itu tidak asing sama sekali dari lafalnya.
2.    Harus ada faktor yang memaksa diterapkannya takwil.misalnya : dzahirnya nash ternyata menyalahi kaidah-kaidah dasar agama yang sudah diketahui secara pasti atau ketika lafal itu menyalahi nash (hadist).yang lebih kuat syaratnya.sementara ia sendiri bisa menerima takwil.maka daripada dibuang lebih baik ditakwil.

10
3.    Takwil itu tidak boleh tanpa sanad (sandaran),sebaliknya ,ia harus berdasarkan pada sanad yang bisa dipegang .sebagai faktor penyebab diterapkannya takwil. Takwil ada 2 macam :
a.    Takwil terhadap hadist dan ayat-ayat Al-qur’an yang bisa menimbulkan pengertian tasbih ( penyerupaan Tuhan dengan makhluk). Umpamanya mentakwil kata tangan dengan kekuasaan didalam firman Allah :
     Artinya :
    Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka (Q.S.Al-fath :10)

Walaupun kita harus mengakui bahwa ini tidak bisa dibilang sebagai takwil yang utuh lantaran cara yang ditempuh melalui majas masyhur.padahal majas masyhur dipahami dari zhahirnya nash bukan takwilnya.orang arab bila mendengar orang berkata : “ Raja meletakkan tangannya diatas kota “akan memahaminya sebagai “Raja menggelar kekuasaannya diatas kota “.dengan demikian kata tangan dalam firman Allah tangan Allah diatas tangan-tangan mereka harus dipahami sebagai kekuasaan melalui zhahir nash.

     b.    Takwil terhadap nash yang khusus berkenaan dengan hukum taklif.faktor adanya takwil ini ialah menyesuaikan antara ketentuan-ketentuan hukum dalam ayat-ayat Alquran dan hadist yang pada zhahirnya bertentangan.jadi takwil itu dimaksudkan untuk memberlakukan sebuah nash yang saling bertolak belakang. Sebab sudah disepakati oleh ulama’ bahwa dalam hal penafsiran nash memberlakukan suatu lafal lebih utama dari pada membuangnya secara percuma. Diantara bentuk dari takwil macam ini adalah takhsis (pengkhususan )terhadap lafal yang umum.
                 Contoh firman Allah :


     Artinya :
     Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Q.S.Albaqarah :275).
                             Serta firman Allah dalam Q.S.An.nisa ayat 29 yang artinya :
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan harta kalian dengan batal diantara kalian kecuali melalui perdagangan yang didasarkan atas saling rela dari kalian (Q.S.an.nisa :29).
11

Ø  Pembagian lafal ditinjau dari segi cakupannya.
Lafal ditinjau dari segi cakupannya ada dua :
a)      Umum (Al- am )
b)      Khusus (Al-khos )
1)      Definisi Al-am
Lafadz al-‘am ialah yang menunjukan tercakup dan termasuknya semua satuan-satuan yang ada dalam lafal itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan tersebut.Para ulama’ berbeda pendapat apakah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal ‘am itu bersifat qath’i atau zhanny.golongan hanafiyah berpendapat bahwa penunjukkan lafal yang ‘am terhadap satuan yang termasuk dalam pengertiannya itu tergolong qhat’i.mereka menyebutkan contoh firman Allah :

Artinya :
Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri ( hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber iddah) 4 bulan 10 hari (Q.S.Al-baqarah ayat 234)

Ayat tersebut meliputi seluruh perempuan yang ditinggal mati suaminya, hendaklah beridddah dalam waktu yang telah ditentukan. Kecuali bila ada yang mengkhuskan, baik perempuan itu belum dicampuri oleh suaminya atau sudah dicampuri.

Sedangkan pengertian qath’i yang ditetapkan dari lafal yang am menurut ulama’ hanafiah ialah bila dalam lafal tersebut tidak terdapat kemungkinan – kemngkinan lain yang timbul karena adanya dalil lain. Artinya bukan hilangnya kemungkinan adanya takhsis secara mutlak, baik ditakhsisnya itu ada dalilnya atau tidak. Menurut golongan Maliki, Syafi’i, dan golongan Hambali, bahwa lafal am itu tidak dapat menunjukkan semua cakupannya secara qath’i. Tetapi sebaliknya, ia hanya menunjukkan secara dhanni.

2)      Al Khos



12
Lafal khas adalah lafal yang menunjukkan perseorangan, tertentu, seperti “ Mustofa “, satuan jenis seperti “ laki- laki”, atau beberapa satuan yang terbatas, seperti “ seratus, seribu” dan lafal – lafal lain yang menunjukkan beberapa bilangan , beberapa satuan, tetapi tidak mencakup satuan – satuan tersebut.
Menurut madhab Hanafi, apabila khas bertentangan dengan am, maka khas bisa mentakhsis am jika keduanya datang bersamaan, sesuai dengan syarat takhsis yang mereka tetapkan. Dalam hal keduanya tidak bersamaan bila am datang belakangan berarti menashakh yang khas, dan bila yang khas belakangan berarti menasakkh sebagian satuan am.Hal demikian didasarkan atas prinsip mereka bahwa untuk mentakhsis dalil am dan khas harus bersamaan waktunya, keduanya mempunyai status yang qath’i dan masing – masing jelas , tidak membutuhkan penjelasan dari yang lain.
Contoh berikut akan menunjukkan bagaimana kedua metode tersebut diterapkan. Ada 2 hadist yang menerangkan tentang zakat tanaman, yaitu pertama sabda Nabi :
مَاسَقَتْهُ السَّمَاءُ فَفِيْهِ الْعُشُرُ

Artinya : Tanaman yang disiram dengan air hujan maka zakatnya 1/10
Dan kedua sabda Nabi :

لَيْسَ دٌوْنَ خَمْسَةِ اَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
Artinya : Hasil tanaman yang kurang dari 5 wasaq (1 wasaq = 10 kg ) tidak ada zakat.

B. Fungsi kekuatan penunjukan lafal terhadap makna
a.         Bisa digunakan untuk mentakwilkan suatu lafal yang belum jelas maknanya.
b.        Bisa digunakan untuk mentakhsiskan suatu lafal yang masih bersifat umum.
c.         Bisa digunakan untuk mengambil makna yang hakiki dari makna yang bersifat   majas.
d.  Dapat menghilangkan kemusykilan lafal yang musytarak (sulit ditentukan artinya) dengan mencari qorinah (dalil) yang sesuai. 




BAB III
PENUTUP
 Kesimpulan
1.        Macam-macam kekuatan penunjukan lafal terhadap makna
Lafal terbagi menjadi dua :
1.      Lafal yang jelas dalalahnya yang tidak perlu penjelasan lagi dan dari itu sudah dapat ditetapkan taklif.
2.      Lafal yang tidak mempunyai kejelasan makna secara khusus.
·         Lafal-lafal yang jelas dalalahnya :
Lafal-lafal yang jelas dalalahnya ada 4 macam,yaitu :
A.    Yang paling rendah dalam tingkatannya(dalalahnya ialah zhahir)
B.     Yang dipandang sedikit lebih tinggi tingkatannya dibanding dzahir ialah nash
C.     Yang lebih tinggi tingkatannya dari pada nash ialah mufassar
D.    Yaitu tingkatan yang paling tinggi ialah muhkam
·         Lafal yang tidak jelas pengertiannya: Al-khafi, Al-musykil, Mujmal, Mutasyabih, Takwil.
·         Lafal ditinjau dari segi cakupannya : Lafal khusus (al-‘am), Lafal umum (al-khos)
v     Fungsi kekuatan penunjukan lafal terhadap makna
·         Bisa digunakan untuk mentakwilkan suatu lafal yang belum jelas maknanya.
·         Bisa digunakan untuk mentakhsiskan suatu lafal yang masih bersifat umum.
·         Bisa digunakan untuk mengambil makna yang hakiki dari makna yang bersifat majas.







13

DAFTAR PUSTAKA


 Zahroh, abu ,1999. ushul fiqih, jakarta : Pustaka Firdaus
Yahya, Mukhtal prof Dr,1986. Dasar- dasar pembinaan hukum fiqih islami. Bandung : Al-maarif.
Khallaf,Abd al-wahab, 1989, kaidah-kaidah hukum islam, jakarta : PT. Raja grafindo persada
http://www.fikihonline.co.cc/2010/03/alur-penunjukan-hukum.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar